UNTUNG
SURAPATI. (1660 - 1706 )
DAN PERANG DI TULAMBEN th 1667 M
Beberapa catatan sebagai
Latar belakang :
Restrukturisasi masyarakat Bali mulai diberlakukan sejak
dalem Waturenggong menjadi raja di Gelgel (1460 - 1550M). Masyarakat di Bali di restukturisasai menjadi
berbagai SOROH diantaranya Soroh IB yaitu keturunan dari Danghyang
Nirarta, Soroh Arya (keturunan para Arya yang menyertai penyerangan Gajah Mada ke Bali
dengan Nama depan I Gusti) Soroh Satrya
Dalem (keturunan Sri Krsna Kepakisan dengan nama depan I Dewa) soroh Pasek
dengan nama depan Ki (laki sudah tua) atau Nyi (perempuan sudah tua) atau I
(laki-laki muda) dan Ni (perempuan muda) kadang juga di Panggil Pan (kalau di Betawi Bang), soroh Pande dan lain sebagainya.
Untuk mempersatukan berbagai
soroh itu maka, Pura dasar Buwana Gelge yang dibangun oleh Mpu Dwijaksara th.
1267 M, ditingkatkan statusnya oleh
dalem Sri Smara Kepakisan (1380-1460M) menjadi Pura kerajaan.
Pada masa dalem Waturenggong
menjadi raja di Gelgel, di Pura Dasar
Buwana Gelgel, ditambahkan satu pelinggih lagi untuk soroh IB sehingga. Pura
dasar Buwana gelgel mencakup 4 soroh yaitu soroh : MGPSSR, Pande, Satrya Dalem,
dan IB.
Sejak dalem Waturenggong
merestrukturisasi masyarakat bali, maka nama soroh/wangsa orang Bali dapat dikenali
dari namanya antara lain I Dewa, Ida bagus, I Gusti, dls. Soroh ini mengadopsi CATUR WARNA shg terjadi
soroh IB disebut Wangsa Brahmana, Soroh satrya Dalem (I Dewa) disebut wangsa
Ksatrya, soroh para Arya dengan sebutan I Gusti disebut wangsa Wesya sedangkan
diluar itu disebut soroh Jaba.
Pada saat Bali dibawah kekuasaan
Kolonial para Arya beramai ramai menganti namanya menjadi IGA, AA, Cok dls. Dan
menyebut dirinya Wangsa Ksatrya, Soroh Arya
tidak mau dikelompok kan sebagai wangsa Wesy karena para soroh Arya ini berasal
dari keturunan raja- raja Kediri. Kemudian disusul Soroh Pande yang
dikelompokkan sebagai Sudra menuntut keadilan di Raad Van Kerta, karena leluhur
Pande adalah Soroh Brahmana (Mpu).
Catatan Penting :
Pada saat Dalem di Made (cucu dari Dalem
Waturenggong) menjadi raja di Gelgel,
Nama depan orang Bali menunjukkan soroh mana mereka itu.
Sejarah Bali th. 1660 -
1707
Bali dibawah kekuasaan I
Gusti Agung Maruti (1651 – 1677 M)
Pada tahun 1651 terjadi pemberontakan di kerajaan Gelgel yang
dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti, Dalem Di Made raja
Gelgel saat itu terusir dari Gelgel dan menyingkir ke Guliang. Sejak tahun itu
(1651) kerajaan gelgel
dikuasai oleh I Gusti Agung Maruti hingga tahun 1677 M.
Sejak Kerajaan
Gelgel dibawah kekuasaan I Gusti Agung Maruti, dengan patihnya Ki Pasek Padang Subadra, kerajaan
Bali terpecah belah.
Raja-raja bawahan gelgel memisahkan diri
menyatakan kemerdekaan
dan tidak mau tunduk kepada I Gusti Agung Maruti.
Perang Tulamben tahun 1667 M
Pada
tahun 1667 terjadi perang antara Pelaut-pelaut Bugis dengan Desa Tulamben. Desa
Tulamben saat itu dipimpin oleh seorang kepala desa bernama Ki Jatiwiyasa atau lebih dikenal dengan
sebutan Ki Pasek Tulamben, karena Ki
Jatiwiyasa
merupakan sesepuh Warga Pasek di Desa Tulamben. Pasek juga berarti Pasak
atau Pacek yang berarti memperkuat atau penguasa di Desa atau disebut juga Prebekel atau Bendesa. Pada perang ini praktis Desa Tulamben tidak
mendapat bantuan dari prajurit kerajaan karena suasana kerajaan masih kacau
balau akibat pemberontakan Krian Agung Maruti.
Sehingga perang ini hanya melibatkan masyarakat Desa Tulamben dengan
pimpinannya Ki Jatiwiyasa dengan orang perahu dari Bugis.
Adapun
penyebab perang itu konon karena persoalan JUDI. Menurut ceritra rakyat yang berkembang disekitar Tulamben,
perkelahian diawali saat di Desa Tulamen ada Sabungan Ayam (judi). Pada saat ada sabungan ayam di Desa Tulamben,
berlabuhlah serombongan pedagang dari Bugis. Para Pedagang itu tertarik ingin membeli
sebuah batu pipih yang rata (cili kumalasa) yang terdapat dihalaman pura
melanting. Para Pedagang dari Bugis memperkirakan bahwa batu itu
adalah batu mulya yang bernilai jual sangat tinggi. Sedangkan penduduk Desa
Tulamben mengaggap batu itu batu keramat karena didalamnya berisi cili emas dengan
guratan gambar dewa-dewi.
Tetapi
oleh orang Tulamben batu itu dijadikan taruhan Judi dengan imbalan sendainya
orang perahu yang kalah maka orang perahu (Bugis) harus menyerahkan seluruh isi
perahunya kepada penduduk Tulamben, sedangkan apabila orang Tulamben yang kalah
maka Orang Tulamben akan menyerahkan batu tersebut kepada Orang Perahu.
Orang
Perahu (Bugis) meminta membeli ayam jantan untuk aduan dengan syarat ayam putih
mulus dengan cuma sehelai bulu ekornya hitam. Namun, tak satu pun penduduk
Tulamben kala itu memiliki ayam jago seperti itu. Namun, mereka tak kurang akal
memperdaya wong Bugis. Seekor ayam putih total, dicabuti salah satu bulu
ekornya. Dari lubang bekas cabutan bulu ekor itu dimasukkan ekor bulu ayam
hitam. Agar tak bisa bertarung, leher ayam jago yang bakal dijual ke orang
Bugis itu digantungi seikat uang
kepeng*.
Besoknya adu ayam jago pun digelar. Pada akhirnya, ayam itu sama sama lelah dan digelar ronde pruput. Ternyata, ayam jago milik wong Tulamben tajinya nyangkut di sangkar, sehingga tak bisa menyerang. Kerena lelah, tak berdiri, tak bisa menyerang, Ayam jago milik wong Tulamben duduk. Sementara, meski tak bisa menyerang ayam jago milik wong Wajo tetap berdiri. Saya (wasit tajen*) pun memutuskan kalau adu ayam jago itu sapih alais imbang*.
Wong Bugis sempat hendak kembali ke kapalnya di pantai Tulamben. Setelah berunding di perjalanan, wong Bugis itu kembali lagi ke arena judi ayam jago, dan menyatakan tak terima ayamnya dikalahkan, karena ayamnya masih berdiri, sementara ayam milik orang Tulamben terduduk. Dari sinilah huru-hara dimulai. Orang-orang Tulamben tetap tidak mau dikalahkan karena angkuh dan sombong, merasa lebih banyak. Karena merasa lebih sedikit masanya maka orang perahu kembali ke perahunya ditengah laut. Orang Bugis pun menurut versi Babad Pasek yang diterjemahkan oleh IGst.Bgs. Sugriwa dan tercantum juga di dalam Babad Pamancangah Arya Kubon Tubuh/Kuta Waringin, mulai membuat strategi menyerang desa Tulamben.
Besoknya adu ayam jago pun digelar. Pada akhirnya, ayam itu sama sama lelah dan digelar ronde pruput. Ternyata, ayam jago milik wong Tulamben tajinya nyangkut di sangkar, sehingga tak bisa menyerang. Kerena lelah, tak berdiri, tak bisa menyerang, Ayam jago milik wong Tulamben duduk. Sementara, meski tak bisa menyerang ayam jago milik wong Wajo tetap berdiri. Saya (wasit tajen*) pun memutuskan kalau adu ayam jago itu sapih alais imbang*.
Wong Bugis sempat hendak kembali ke kapalnya di pantai Tulamben. Setelah berunding di perjalanan, wong Bugis itu kembali lagi ke arena judi ayam jago, dan menyatakan tak terima ayamnya dikalahkan, karena ayamnya masih berdiri, sementara ayam milik orang Tulamben terduduk. Dari sinilah huru-hara dimulai. Orang-orang Tulamben tetap tidak mau dikalahkan karena angkuh dan sombong, merasa lebih banyak. Karena merasa lebih sedikit masanya maka orang perahu kembali ke perahunya ditengah laut. Orang Bugis pun menurut versi Babad Pasek yang diterjemahkan oleh IGst.Bgs. Sugriwa dan tercantum juga di dalam Babad Pamancangah Arya Kubon Tubuh/Kuta Waringin, mulai membuat strategi menyerang desa Tulamben.
Perkelahian
pun terjadi, Penduduk Desa Tulamben diserang oleh Orang perahu (Bugis). Ki Jatiwiyasa sebagai sesepuh Desa tidak
tinggal diam membiarkan warganya diserang oleh orang luar. Ki Jatiwiyasa pun ikut melibatkan diri
dalam perkelahian itu untuk membela warganya. Orang
Tulamben kalah dalam persenjataan, Orang Tulamben bersenjatakan keris sedangkan Orang perahu bersenjata bedil, sehingga
meskipun orang perahu kalah jumlah tetapi menang dalam persenjataan, sehingga
banyak penduduk tulamben mati sedangkan yang masih hidup kocar kacir
menyelamatkan diri. Diantara yang mati itu termasuk Ki Jatiwiyasa (atau lebih dikenal dengan
sebutan Ki Pasek Tulamen) dan
keluarganya.
Anak-anak kecil yang selamat dari perkelahian dan tidak
sempat melarikan diri kemudian ditawan dan dibawa ke dalam perahu,sebagai rampasan perang untuk dijual sebagai Budak. Ada sekitar 10-15 orang Anak kecil yang ditangkap dan dibawa ke Makasar untuk dijual sebagai budak, termasuk
Surowiroaji anak dari Ki Pasek Tulamben ( Ki Jatiwiyasa) yang saat itu baru
berumur sekitar 6-7 tahunan-an. Anak anak dari Tulamben inilah yang dikemudian hari membentuk pasukan dengan Untung Surapati sebagai Pemimpinnya, yang dikenal dengan Pasukan / Laskar Untung Surapati dengan ciri khas ber - udeng / destar Putih.
Di Makasar anak anak Tulamben ini di Jual kepada Kompeni dan diboyong ke Batavia untuk dipekerjakann sebagai Budak - untuk teman bermain anak anak kompeni yang masih kecil
Meskipun sudah berada jauh dari tanah kelahiranya, ingatan anak anak ini terhadap masa kajak kanak dan teman teman sepermainan-nya di kampung halamannya di Tulamben masih sangat Jelas. Sehingga saat mulai tumbuh sebagai Pemuda Untung Surapati yang sejak kecil sudah sering memperlihatkan bakat kepemimpinannya - diam diam mengadakan kontak kontak secara lebih intensif dengan teman sepermainannya sewaktu masih kecil. Kontak dapat diadakan karena pada acara-acara Tuan Kompeninya, anak anak budak belian itu sering diajak serta untuk menemani anak anak tuannya.
Di Makasar anak anak Tulamben ini di Jual kepada Kompeni dan diboyong ke Batavia untuk dipekerjakann sebagai Budak - untuk teman bermain anak anak kompeni yang masih kecil
Meskipun sudah berada jauh dari tanah kelahiranya, ingatan anak anak ini terhadap masa kajak kanak dan teman teman sepermainan-nya di kampung halamannya di Tulamben masih sangat Jelas. Sehingga saat mulai tumbuh sebagai Pemuda Untung Surapati yang sejak kecil sudah sering memperlihatkan bakat kepemimpinannya - diam diam mengadakan kontak kontak secara lebih intensif dengan teman sepermainannya sewaktu masih kecil. Kontak dapat diadakan karena pada acara-acara Tuan Kompeninya, anak anak budak belian itu sering diajak serta untuk menemani anak anak tuannya.
Leluhur Untung Surapati
Untung Surapati yang nama aslinya adalah Surowiroaji
adalah anak dari Ki Jatiwiyasa. Ki Jatiwiyasa atau
lebih dikenal dengan sebutan Ki Pasek Tulamben adalah anak dari Ki Tirtawijaya
Sukma, keturunan Kiyayi Agung Padang Subadra II. Kiyayi Ageng Padang Subadra adalah seorang Bangsawan di zaman Singosari
(Jawa Timur).
Ki Ageng Padang Subadra atau lengkapnya Kiyayi Gusti Ageng Padang Subadra adalah anak dari Mpu Jiwanata, Mpu Jiwanata anak dari
Mpu Pemacekan, Mpu pemacekan adalah anak dari Sanghyang Pemacekan. Sanghyang
Pemacedkan adalah anak dari Mpu Ketek.
Pratisentana Pemacekan kini sudah mempunyai Pura di
daerah Tawang Mangu Karang Anyar JawaTengah (kira-kira 50 Km dari kota
Solo), berupa pura penyungsungan warih
Pemacekan (MGPSSR) bernama Pura Kiyayi
Ageng Pemacekan.
Beberapa catatan penting:
Pada invasi Raja Kertanegra (raja Singghasari) ke Bali th. 1286 M, Kiyayi Gusti Ageng padang Subadra I juga
dikirim ke Bali oleh raja Kertanegara untuk menaklukkan kerajaan Bali. Pada invasi Majapahit ke Bali tahun 1342
M, Gadjah Mada juga menyertakan pangeran
dari Padang Subadra – Singhasari Jawa Timur, yaitu keturunan Ki Ageng Padang
Subadra (atau disebut Ki Ageng Padang Subadra II) menyertai Patih Gadjah Mada menyerang
kerajaan Bali dari Tianyar, dari dua gelombang invasi itu
banyak keturunan Padang subadra menetap
di Bali. Dan salah satu keturunannya adalah Ki Jatiwiyasa atau Ki Pasek
Tulamben, orang Tua dari Surowiroaji.
Saat Perang di Tulamben, Surowiroaji ditangkap dan
dijual sebagai budak belian oleh Orang Perahu kepada Kompeni di Makasar.
(catatan
: dalam babad kaba-kaba disebutkan
penyerangan ke kerajaan Bedahulu-Bali dilakukan dari arah timur dipimpin
oleh Patih Gadjah Mada disertai patih keturunan Mpu Withadarma: lihat babad
Kaba-kaba, Dinas kebudayaan Propinsi Bali th 2002 hal. 5).
SUROWIROAJI MENJADI BUDAK
Orang Perahu dari Bugis kemudian membawa Surowiroaji ke Makasar. Surowiroaji kemudian dijual dipasar Budak di Makasar oleh orang perahu dari Bugis dan dibeli oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung".
Untung
Surapati tumbuh sebagai pemuda tampan,
gagah dengan tutur bahasa yang halus. Persahabatannya dengan anak majikannya
yang benama Susane, membuat Susane jatuh hati kepada Untung. Ketika Untung berumur 20 tahun diam diam
Untung menikahi Susane anak majikannya sehingga kapten Moor marah besar dan Untung dimasukkan kedalam penjara. Di dalam penjara Untung kemudian menghimpun
para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.
Mendapat nama Surapati
Pada
tahun 1683 Sultan
Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran
Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah
tetapi hanya mau dijemput perwira VOCpribumi.
Kapten
Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka
ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai
buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi
menjemput Pangeran Purbaya.
Untung
menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke
Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran
Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan
pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari1684.
Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang
bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali menjadi
buronan VOC. Antara lain ia pernah
menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.
Ketika
melewati Kesultanan
Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat
sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun
dihukum mati. Sejak itu nama "Surapati" oleh SultanCirebon diserahkan kepada Untung.
Terbunuhnya Kapten Tack
Lukisan
tradisional Jawa karya Tirto dari Grisek
menggambarkan terbunuhnya Kapten François Tack oleh Surapati di Kartasura (1684) di bawah Susuhunan Amangkurat
II.
Untung
alias Surapati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu
Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh
anti VOC yang gencar mendesak Amangkurat
II
agar membatalkan perjanjiannya dengan bangsa Belanda tersebut. Nerangkusuma
juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.
Kapten
François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan
dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan
Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk
menangkap Surapati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi
Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran
pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belandatewas. Kapten Tack sendiri
tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke
benteng mereka.
Bergelar Tumenggung
Wiranegara
Amangkurat II takut pengkhianatannya
terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati
mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati
Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal
dengan Surapati di Kartasura.
Pada
tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan
untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini
mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai
usaha mengelabui VOC.
Kematian Untung Surapati
Sepeninggal
Amangkurat
II
tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat
III
melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran
Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat
III
diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.
Pada
bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert
Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng
Bangil akhirnya menewaskan Untung Surapati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober1706. Namun ia berwasiat agar
kematiannya dirahasiakan. Makam Surapati pun dibuat rata dengan tanah.
Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati
palsu.
Pada
tanggal 18
Juni1707 Herman de Wilde memimpin
ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam
Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan abunya
dibuang ke laut.
Perjuangan putra-putra
Surapati
Putra-putra
Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden
Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian dari mereka ada
yang tertangkap bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut
dibuang ke Srilangka.
Sebagian
pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan
ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam
memihak Surapati dalam perang tahun 1706.
Setelah
Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih
setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran
Blitar menentang Amangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan
ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para
pengikutnya dibuang VOC ke Srilangka.
Dalam karya sastra dan
media lain
Kisah
perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama
jalan yang umum di Indonesia, juga cukup banyak ditulis
dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain
Babad Surapati.
Penulis
Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari
Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini kemudian
diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari
Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah
ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang
berjudul Surapati.
Taman
Burgemeester Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pasca kemerdekaan
Indonesia diubah namanya menjadi "Taman Suropati" untuk mengabadikan
nama Untung Surapati, .
KESIMPULANNYA :
1. Untung Surapati adalah keturuan Ki
Pasek Tulamben dengan leluhur Ki Ageng Padang
Subadra
2. Pada masa Untung Surapati ditngkap
sebagai budak, nama nama soroh orang Bali
sudah mulai populer, diantaranya IB,
I Gst, I Dewa, Ki, Nyi dls.
Referensi
LINK :
ILMU SOSIAL
ILMU PSIKOLOGI
TENTANG HINDU
SEJARAH
BABAD
Ayam Jago Peru
BalasHapus