Oleh : ING.Mudiarcana
Kata Pengantar
Buku pelajaran sejarah untuk kelas XB terbitan
Viva Pakarindo, Klaten Jawa Tengah pada halaman 38 menulis sebagai berikut :
Di India, sistem kasta lahir dan berkembang
bersamaan dengan munculnya agama Hindu. Ketika agama dan Kebudayaan Hindu
mulai berkembang di Indonesia, sistem kasta tidak berlaku mutlak seperti di
India. Masyarakat Hindu Indonesia mengenal sistem kasta dalam ajaran
agamanya, tetapi tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dan
menyesuaikan sistem kasta dengan keadaan masyarakat Indonesia.
Dalam penyusunan materi buku sejarah tersebut, penulis mengaku
menggunakan sumber literatur yang sesuai dengan kurikulum KTSP 2006
diantaranya dari :
1. Wawasan Sejarah 1 Indonesia dan
Dunia Kelas X SMA dan MA, dengan pengarang Shodiq Mustafa, Terbitan Tiga serangkai, Solo,
2007...halaman 96.
2. Mandiri (Mengasah Kemampuan
Diri) Sejarah SMA/MA Kelas X, pengarang Leo Agung dan Dwi Ari Listiyani,
Terbitan Erlangga, Jakarta, 2009..halaman 60”
|
Pendahuluan
Sampai saat ini masih banyak buku buku yang memuat
informasi menyesatkan tentang agama Hindu, disengaja atau tidak, buku tersebut terus dicetak
berulang-ulang, referensi
yang dipakai juga yang menyesat- kan agama Hindu, sehingga
saling dukung dan kompak, sementara sumber-sumber resmi dari penulis-penulis Hindu terpelajar tidak pernah
dipakai sebagai bahan referensi
Sumber penyesatan tersebut dimulai semenjak datangnya
penjajah-penjajah Arab dan Eropa di India abad ke 7 s/d 19, bahkan mungkin
lebih awal. Penyesatan yang paling kasat
mata dan fenomenal justru semenjak datangnya Portugis di India abad 15 dan dilanjutkan
oleh Kolonialisme Inggris dengan dikeluarkannya undang-undang kolonial pada
tahun 1901.
Kalau penyerbu-penyerbu Arab hanya merusak secara
fisik simbol-simbol Agama Hindu, misionaris kristen datang untuk
menyesatkan Umat Hindu. Mereka datang dengan label ilmuwan, Menterjemah-kan kitab
suci Weda dan meneliti suku-suku India,
membuat teori-teori - misalnya teori Invasi Arya dan memperkenalkan istilah
Kasta yang
dilekatkan pada agama Hindu dengan menggunakan dalil-dalil
kitab suci Weda.
Tulisan ini merupakan bantahan terhadap publikasi
maupun tulisan yang selalu melecehkan agama Hindu oleh orang-orang Adharma,
sekaligus menunjukkan bukti sejarah kasta yang dilekatkan kepada Agama
Hindu dan membandingkan dengan pengertian Catur Warna. Mudah-mudahan
tulisan ini bisa dijadikan bahan referensi dan memberi pencerahan kepada para
penulis yang berniat baik, lebih khusus kepada Umat Hindu, supaya tidak
terjebak skenario yang sengaja menyesatkan Umat Hindu.
Kepada mereka yang dengan sengaja ingin menyesatkan
pemahaman tentang Agama Hindu maupun kepada mereka yang merasa diuntungkan dengan
adanya kastaisme, tulisan ini bukan bertujuan untuk menyakiti atau melukai perasaan siapapun.
Tulisan ini adalah untuk memberikan bukti yang benar tentang sejarah timbulnya
kasta yang tidak ada kaitannya dengan agama Hindu, sekaligus untuk memberikan pencerahan
kepada pencari kebenaran.
Sejarah kasta di India
Kasta mulai diperkenalkan di India semenjak
kedatangan Bangsa-bangsa Arab, Portugis dan Inggris kira-kira sejak
abad 7 sampai ke 19. Bangsa Arab, Portugis dan Inggris datang ke India
dengan misi penaklukan dan penyebaran Agama. Penaklukan dan Penyebaran Agama Islam dilakukan oleh Bangsa Arab, Penaklukan dan penyebaran agama Kristen dilakukan oleh Bangsa Portugis dan Inggris.
Kedatangan Bangsa Arab, Portugis maupun
Inggris di India membawa pula adat kebiasa-annya yaitu sistem Kasta
dan Perbudakan. Kasta
dan Perbudakan merupakan suatu yang lazim di-masyarakat Arab dan Eropa saat itu. Karena Kasta dan
Perbudakan merupakan cerminan kitab suci Al Quran maupun Injil. Sampai saat ini di
negara-negara Arab perbudakan masih
terpelihara dengan baik, meski di Eropa maupun di Amerika sudah mulai
ditinggalkan.
Injil Imamat 25/44-46 menyebutkan : Tetapi budakmu laki-laki atau perempuan yang
boleh kamu miliki, adalah dari antara bangsa-bangsa yang di sekelilingmu, dari
antara merekalah kamu boleh membeli budak-budak laki-laki dan perempuan. Juga
dari anak-anak pendatang tinggal di antaramu, boleh kamu membelinya dan dari
antara kaum mereka yang tinggal di antaramu yang dilahirkan di negerimu,
orang-orang itu boleh menjadi milikmu. Kamu harus membagikan mereka sebagai
warisan kepada anak-anakmu, supaya diwariskan sebagai miliknya. Kamu harus
membudakkan mereka untuk selamanya. (baca juga keluaran 21/1-6,timotius 6/1, titus
2/9,Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18)
Al Qur’an surat Al Mu’minuun ayat 1-6 : Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, ( yaitu ) orang-orang yang khusyu dalam
sembahyangnya, Orang-orang yang menjauhkan diri dari ( Perbuatan dan perkataan
) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang
yang menjaga kehormatannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Al Qur’an surat An Nissa ayat 24 : Dan
(diharamkan juga kamu mengawini ) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kau miliki.
Al Qur’an 33:50 ; Hai Nabi, sesungguhnya kami
telah menghalalkan bagimu isteri-isteri yang telah kamu berikan mas kawin
dan hamba sahaja (=budak) yang kamu miliki yang termasuk apa
yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu.
Periode kegelapan umat Hindu di India
Periode abad ke 7 s/d 19 Bangsa Timur Tengah
dan Eropa berdatangan ke India. Mereka datang dengan misi penaklukan dan
penyebaran Agama. Pada masa ini (hampir
12 abad) India benar-benar mengalami masa suram. Adat istiadat luhur dan Agama
Hindu dihancurkan dengan berbagai cara. Kuil-kuil dihancurkan, Perpustakaan
Hindu yang ada di Univesitas Taxila (Taksasila-sekarang masuk wilayah Pakistan), Universitas tertua dan terbesar yang pernah ada di dunia di- bakar habis. Arca-arca
emas yang berhias-kan permata dijarah, para Bhramana banyak yang diusir dari Negerinya, bahkan banyak yang
dibunuh. Buku-buku baru yang berisi propaganda agama baru disebarkan,
Kitab suci Weda
dimanipulasi dan disesatkan, sebagian Weda dirampas dan
dibawa ke luar India diantaranya ke Inggris.
Sebagai
catatan sejarah Raja Sahiya Jayapal-Raja Hindu terakhir di Afganistan terusir
dari negerinya sekitar abad ke 9,
Sedangkan Pakistan tempat mengalirnya sungai Saraswati dan tempat lembah
Indus - tempat diturunkannya kitab dan peradaban Weda dan Banglades tempat
mengalirnya sungai gangga – sungai suci umat Hindu- akhirnya kini tidak lagi mengakui Kitab suci Weda dan meninggalkan
Weda dan telah menganggap leluhurnya sebagai orang kafir dan tidak lagi
mengakuinya. Mereka lebih bangga disebut orang Arab dan menerapkan kebudayaan dari timur tengah, dan
meninggalkan kebudayaan lembah sungai Indus.
Sejarah penghancuran agama Hindu di India dilakukan
dengan Penyesatan dan kekerasan. Sejarawan Amerika Will Durant menyarikan
sebagai berikut: Penaklukan India oleh Islam mungkin merupakan peristiwa
paling berdarah dalam sejarah manusia. Kisah yang tragis karena ini merupakan
bukti bahwa kebudayaan yang beradab, dengan tatanan hukum dan kemerdekaan,
kebudayaan dan perdamaian, dapat dengan sekejap dilenyapkan oleh serangan
barbar dari luar dan selanjutnya beranak pianak di tempat itu.
Sedang Francois Gautier sarjana lainnya
berkomentar: Pembantaian yang dilakukan Muslim di India tak tertandingkan
dalam sejarah, lebih besar daripada Holocaus yang dilakukan Nazi terhadap orang
Yahudi. Diperkirakan selama 8 abad
kekuasaan Islam di India telah terjadi pembantaian 80 Juta umat Hindu. Hindu
Kush (sekarang masuk wilayah Afganistan ) nama sebuah lereng di Himalaya yang
berarti Pembantaaian kaum Hindu ( kush =
pembunuhan, bhs. Parsi ) diabadikan namanya sampai sekarang
Para Indolog mengelabuhi pandangan masyarakat dunia
terhadap Agama Hindu
Para misionaris kristen datang ke India mengikuti
kolonialisme Portugis dan Inggris. Dengan dukungan pemerintah kolonial, para
misionaris memperoleh akses dan dana yang cukup besar untuk mengkonversi rakyat
India. Selain mengirim misionaris murni yang bergerak dibidang pelayanan gereja
dikirim pula sarjana-sarjana Pseudoilmiah, guna memudahkan jalan bagi
penyebaran agama Kristen di India. Diantara sarjana-sarjana pseudioilmiah yang
dikirim ke India adalah : Max Muller, William Jones, Herbeith Hope Risley dll.
Federick
Maximilian Muller, Sarjana keturunan
Jerman, Anggota Gereja Kristen Oxford tahun 1851, menerima bayaran
sangat tinggi dari East Indian Company untuk setiap lembar terjemahkkan Weda. Surat Max Muller tertanggal 25 agustus 1856 dan tanggal 16 Desember 1868
mengungkapkan fakta bahwa Max Muller ingin membawa kekristenan di India dan
menyinkirkan agama Hindu dari India.
http://www.encyclopediaofauthentichinduism.org/articles/35_max_muller.htm
http://www.encyclopediaofauthentichinduism.org/articles/35_max_muller.htm
Max Muller pernah menulis surat pada istrinya,
tanggal 9 Desember 1867 yang dipublikasikan di London dan New York tahun 1902
sebagai berikut : “Penerjemahan Weda selanjutnya
akan memberitahu untuk sebagian besar pada nasib India terhadap pertumbuhan
jutaan jiwa negeri itu, ini adalah akar dari agama mereka, dan untuk
menunjukkan kepada mereka apa akar adalah saya
merasa yakin, adalah satu-satunya Cara mencabut semua yang telah
bermunculan dari itu selama 3000 tahun terakhir.(
http://www.encyclopediaofauthentichinduism.org/articles/35_max_muller.htm
http://www.encyclopediaofauthentichinduism.org/articles/35_max_muller.htm
Tulisan-tulisan Max Muller didukung rekan-rekannya
antara lain William Jones dan Herbeith Hope Risley.
DR. William Jones seorang pemikir politik radikal,
menikahi putri tertua DR.Jonathan Shipley, Uskup Landraff dan Uskup
St.Asaf. Bekerja sebagai Hakim di Kalkuta, juga merangkap Kepala The
Asiatic Society of Bengal, secara diam-diam juga merangkap sebagai
misionaris. Dalam suatu rapat besar atas nama pemerintah Inggris, William
Jones marah besar kepada para misionaris karena dianggapnya tidak mampu
mengkonversi umat Hindu menjadi umat Kristen. William Jones berkata : Kalian
para misionaris ini terlalu bodoh, bagaimanapun upaya kalian baik para zending
(misionaris) Protestan maupun Katolik tidak akan mampu mengkonversi orang-orang
Hindu, sebab mereka sangat kuat keyakinan mereka terhadap kitab-kitab sucinya.
Satu-satunya cara agar orang-orang Hindu mau pindah menjadi umat Kristen adalah
mengacaukan isi kitab suci mereka. Posisikan kitab mereka lebih rendah dari
kitab Injil dan angkat setinggi-tingginya kitab Injil .(The true history and the religion of India, dalam I Ketut Donder. Media
Hindu edisi 92, Oktober 2011 hal. 44-45)
Ada dua rencana
rahasia yang disusun secara teliti oleh William Jones sebagai wakil kolonialis
Inggris di Kalkuta. Rencana pertama : penyesatan pengertian kitab suci
Weda termasuk sejarah India, kedua : menerapkan teori rasialis
(kasta) dengan maksud agar terjadi perpecahan pada masyarakat India. Kedua
rencana tersebut dijalankan secara simultan
William Jones lah yang pertama kali meng-usulkan
pembagian rasial (kasta) di India yang melibatkan teori Invasi Arya-nya Max
Muller. Usulan pembagian kasta di India didukung oleh Herbeith Hope
Risley, administrator Inggris di India.
Pada tahun 1901 Herbeith Hope Risley administrator Inggris di India
mengesah-kan teori rasialis (kasta) Max Muller dan William Jones menjadi
Undang-undang Kolonial yang diberlakukan diseluruh anak benua India.
Thomas Trautman menyebut publikasi-publikasi
tulisan Risley yang berjudul Study Etnologi di India (1891) sebagai teori
rasial peradaban India. Trautman mengganggap H.H. Risley dan Max Muller
sebagai arsitek kasta-isme di India.
Hasil upaya dan strategi misionaris Kristen yang berkedok Ilmuwan Indolog
tersebut berdampak negatif terhadap Agama Hindu di seluruh dunia sampai
kini. Dari publikasi tulisan-tulisan
Indolog tersebutlah muncul istilah
Kasta yang selalu dikait-kaitkan dengan Agama Hindu.
Kasta di India diterapkan secara paksa oleh penguasa kolonial. Sebelumnya
Umat Hindu India tidak mengenal Kasta
Dengan dukungan penguasa kolonial dan penguasa
pribumi boneka kolonial, Konsep kasta yang dilekatkan kedalam agama Hindu
diterapkan secara paksa kepada Rakyat India dengan aturan-aturan sesuai
selera kolonial. Rakyat India dibagi-bagi dalam berbagai Kasta dengan menggunakan
dalil-dalil Weda versi terjemahan Max Muller dkk.
Buku-buku Max Muller sampai sekarang laris manis
dipakai bahan referensi oleh penulis-penulis pseudoilmiah, terutama buku buku sekolah, karena membawa misi penyesatan. Sebelumnya konsep kaku kasta
tidak ditemukan didalam masyarakat Hindu India, baik jaman Mahabarata
maupun jaman sesudahnya.
Beberapa bukti sejarah bahwa
kasta yang kaku tidak parnah ada dalam masyara-kat Hindu India : Jaman Mahabarata (3500 SM) sampai Dinasti Gupta abad ke
6 Masehi sebagai berikut :
1.
Raja Sentanu menikahi Setyawati,
puteri seorang nelayan (Tukang perahu)
2.
Bambang Ekalawiya (Orang Nisada), rakyat biasa bisa menjadi
ksatrya.
3.
Radeya, anak kusir kereta menjadi
Adipati (ksatrya).
4.
Kresna,warna kulit hitam, anak gembala
sapi. Kresna
disebut juga Govinda/ Gopala=anak gembala sapi bisa
menjadi Raja (kesatrya).
5.
Narada muni anak pembantu rumah
tangga ( Babu ) bisa menjadi Brahmana.
6.
Maharsi Viyasa ( di Jawa
disebut Bagawan Abiyoso), berkulit hitam, hidung lebar, bibir tebal, mata
melotot, ibundanya seorang tukang perahu/ nelayan. Dianggap ‘Nabi” oleh
umat Hindu, karena beliaulah yang meng-kodifikasi Weda.
Maharsi Viyasa disebut juga Krisna Dwipayana, karena berkulit hitam, bukan Ras
Arya, Bisa menjadi Brahmana.
7.
Kavash Ailush lahir dari rakyat
biasa, bisa menjadi Brahmana. Kavish Ailush berperan dalam penulisan mantra
Weda drsta untuk Rig Weda mandala 10
8.
Putra Jabala’s (Satyakama) lahir
dari ayah yang tidak diketahui, bisa menjadi Brahmana (Rsi) karena rajin
belajar mantra-mantra Weda.
9.
Matangga dari kalangan
bawah/rakyat jelata, bisa menjadi Rsi (Brahmana) karena kwalitasnya.
10.
Maharsi Walmiki, penulis
wiracarita Ramayana. Nama lahirnya adalah Ratnakara -
seorang pencuri dan perampok. Ayahnya bernama Sumali, rakyat biasa, bukan
Ksatrya ataupun Brahmana. Setelah merampok Narada Muni, terjadi percakapan
antara Ratnakara dengan Narada, Ratnakara akhirnya sadar, dan mulai belajar
Agama dan akhirnya menjadi Maharsi dan berganti nama menjadi Walmiki.
11.
Thiruvalluar,anak seorang tukang
Jahit/ penenun, berkat keuletannya belajar bisa menjadi Bharmana. Thiruvalluar
penulis buku Thirukural di India Selatan.
12.
Dewi Subadra (di Jawa disebut Roro
Ireng karena berkulit Hitam), menikah dengan Arjuna yang berkulit Pucat/ putih.
13.
Prahlada anak seorang Raksasa
bernama Hiranya Kasipu bisa menjadi Brahmana.
Apa kasta seorang anak kusir kereta?, apa kasta
anak gembala sapi?, apa kastanya Anak Nelayan?, apa kastanya tukang tenun
benang?, apa kastanya anak Babu/pembantu rumah tangga?, apa kastanya
Bromocorah? Apa kastanya seorang Raksasa?. Apa
Warna Kulit Kresna, bagaimana warna kulit Dewi Subadra dan warna
kulit Maharsi Viyasa “nabi” Umat Hindu?, Mereka berkulit gelap bukan
putih seperti terjemahan Catur Warna dengan Ras warna Kulit oleh Max Muller.
Orang dengan kulit hitam/gelap bisa menjadi Brahmana ataupun Ksatrya.
Riwayat Anak
kusir Kereta dan Anak Gembala Sapi, Anak Pembantu dan Anak Pencuri, tentu bukan
suatu rekayasa sejarah. Ceritera tersebut
merupakan tuntunan dan menandakan bahwa seorang Anak Kusir Kereta atau Anak
Gembala atau Anak Penjahat maupun anak pembantu, bisa menjadi Ksatrya atau Bisa
menjadi Brahmana asalkan mau belajar dengan tekun.
Max Muller menterjemahkan Catur Warna sama dengan
empat warna kulit yaitu Kulit Putih ditujukan kepada Ras Arya untuk kasta
Brahmana, Kulit Merah juga untuk Ras Arya untuk kasta Ksatrya, kulit Kuning
untuk kasta Wesya dan kulit Hitam/Biru ditujukan kepada Ras Dravida untuk kasta
Sudra. Teori Max
Muller dan kawan-kawannya yang rasialis, telah mengabaikan peran Maharsi
Wiyasa, Sri Kresna, Dewi Subadra yang berkulit Hitam – orang Dravida. Bahkan Maharesi Wiyasa dan Sri Kresna adalah tokoh panutan bagi umat Hindu, mereka
berkulit hitam.
Fakta-fakta tersebut meruntuhkan teori Rasial/Kasta
yang dibangun oleh Max Muller, William Jones, Herbeith Hope Risley dkk.
Menghubungkan kasta-kasta dengan Agama Hindu adalah penyesatan yang disengaja
oleh Max Muller dkk. Atas pesanan kolonialis Inggris.
Sejarah Kasta di Bali
Di Indonesia Kasta tidak pernah ditemukan
sampai akhir kerajaan Hindu Majapahit abad 14 akhir. Kasta baru ada di
Indonesia setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh.
Bukti-bukti sejarah Kasta tidak ada di Indonesia semasa kerajaan Hindu
diantaranya sebagai berikut
1.
Mpu Sendok, seorang Brahmana,
anak-anaknya menjadi Ksatrya di Medang Kemulan
2. Ken Arok, seorang penyamun di hutan-hutan Jawa Timur, dari keluarga yang bukan ksatrya ataupun brahmana. Bisa menjadi
Raja (ksatrya) di Singosari.
3.
Mahapatih Gadjah Mada, Perdana
menteri Majapahit, lahir dari keluarga yang tidak diketahui ( bukan dari keluarga atau keturunan
Ksatrya maupun Brahmana), Kemudian menjadi
Ksatrya terkemuka Indonesia sepanjang sejarah Indonesia
4.
Damar Wulan, Seorang
pengangon kuda ( tukang arit rumput ), kemudian bisa menjadi Raja (Ksatrya) di Majapahit dan berganti nama menjadi
Brawijaya.
5.
Kebo Iwa, tukang gali tanah dan
tukang membuat sumur, berkat keperkasaannya bisa menjadi Patih (Ksatrya) di
Bali pada masa Raja Ratna Bumi Banten.
6.
Ketut Kresna Kepakisan, anak
seorang Brahmana dari Jawa Timur, menjadi Adipati (Ksatrya) di Samprangan Bali
dengan gelar Sri Kresna Kepakisan.
7.
Patih Ulung, ayahnya seorang Mpu/ Brahmana, warga pasek sanak pitu, bisa menjadi Patih/Ksatrya.
8.
Arya Tatar -
pejabat kerajaan Singosari, keponakan Kendedes. Ayah nya seorang Mpu/Brahmana
- warga Pasek Sanak Pitu, bisa menjadi Ksatrya membantu bibi dan pamannya.: Ken
Arok-Ken Dedes. Arya Tatar di Bali menurunkan Pasek Pidpid dan Pasek Bale Agung Buleleng
yang menurunkan Ir. Soekarno
9.
I Gusti Agung Pasek Gelgel,
katurunan seorang Mpu/Brahmana, bisa menjadi Ksatrya yaitu
menjadi Raja Bali (1345-1352
M), sebelum Kresna Kepakisan diangkat sebagai raja Bali.
Apa kasta seorang Perampok/ Bromocorah?,
Apa Kasta seorang Pengangon Kuda?, Apa Kasta seorang tukang gali Sumur?.
Ken Arok, Gadjah Mada, Damar Wulan maupun Kebo Iwa jelas bukan
berasal dari kasta Brahmana, bukan Ksatrya, bukan pula Wesya. Tetapi bisa
menjadi Ksatrya berkat proses belajar dan keterampilan yang dimilikinya. Bukan
karena keturunan.
Kasta mulai ada di Indonesia setelah runtuhnya Majapahit dan terpengaruhnya
pemikiran para “Brahmana” oleh pemikiran kaum Indologis.
Di Indonesia Kastaisme mulai menyebar setelah
Runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit tahun 1478 M, hampir berdekatan waktunya
dengan jatuhnya kerajaan Goa di India oleh Portugis tahun 1511, serta Era
penyebaran konsep-konsep agama Kristen (Kristenisasi) ke-seluruh dunia yang
ditandai dengan Kolonialisasi dan perbudakan.
Pada akhir masa Majapahit terutama awal abad ke 15
, kastaisme mulai menyebar. Banyak Ksatrya, Cendekiawan maupun Brahmana
Hindu mulai terpengaruh propaganda misionaris Kristen dan kaum Adharma lainnya. Mereka melupakan swa-dharmanya sebagai
ksatrya dan brahmana tergoda oleh Harta Kuasa dan Wanita.
Raja Majapahit Kertabumi ( 1456-1478 ) yang sudah
tua renta tergoda wanita hadiah para Wali. Wanita yang tidak jelas asal-usulnya
selalu membujuk Kertabumi untuk meninggalkan agama Hindu agama leluhur
Majapahit dan ikut agama Istrinya.
Di Jawa Barat, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi
terbujuk rayuan Nyai Subang Larang, yang
kemudian bersama keturunan-nya
menentangnya, sehingga Sang Prabu harus melarikan diri dari Istananya dan hidup
terlunta-lunta menyamar sebagai Anak
Angon (gembala) hidup di hutan.
Para Brahmana dan cendekiawan tersesatkan oleh
pemikiran-pemikiran baru dari Eropa dan Arab, mereka mengadopsi konsep-konsep
kasta dan perbudakan tanpa dinilai secara kritis. Parahnya lagi, para Brahmana lebih banyak berkumpul disekitar keraton, guna melegitimasi kebijakan raja menjadi Bhagawanta Kerajaan. Akhirnya rakyat tertinggal dibidang tattwa
keagamaan nya, sehingga dengan mudah di Konversi dan jadi jajahan asing.
Majapahit-pun runtuh tahun 1478, diikuti oleh Pajajaran, dan pusat pemerintahan
dilanjutkan oleh Demak Bintoro.
Pada masa pemerintahan Demak dan Mataram Islam,
Kasta makin tumbuh subur di tanah Jawa. Gelar tokoh agama di Jawa/ Indonesia seperti ; KH,Habib,Abu, Syekh dll. Dan Bangsawan Jawa makin
beraneka ragam, seperti : R. RA.
GPA. GPAA. KRT. GKR, GPH. GB, GPB dll. Masyarakat Jawa terkotak-kotak menjadi
kelompok Kiyai, kelompok Habib, kelompok Saudagar, Priyayi dan Wong Cilik.
Sebelumnya Gelar Bangsawan di Jawa/
Indonesia cukup dipanggil Raden, sedang raja dipanggil Sri, seperti Raden
Wijaya, Sri Wijaya, Sri Dharmawangsa dan tokoh Agama dipanggil Mpu, seperti Mpu
Sendok, Mpu Sedah, Mpu Beradah, Mpu
Tantular dll.
Keberadaan Kasta dan perbudakan di Bali
Kehancuran Majapahit tahun 1478, bukannya menjadi
pelajaran bagi umat Hindu di Bali. Seorang pedarmayatra (“pegungsi”) dari Majapahit
diangkat menjadi Bagawanta kerajaan di Gelgel. Beliau adalah Danghyang Nirarta.
Tahun 1489, sebelas tahun setelah Kerajaan
Majapahit Runtuh, Daghyang Nirarta datang ke Bali dengan membawa
ajaran-ajaran yang sudah dipengaruhi oleh peta politik global saat itu (peta
politik global abad 15 ), yaitu konsep kasta-kasta dan perbudakan. Nirarta juga
melarang anak-anaknya menyembah patung-patung. (lihat : Bisama Danghyang Nirarta kepada keturunannya),
ini jelas mengadopsi Al Quran yang menganggap patung sebagai Berhala.
Di Lombok Danghyang Nirarta mengajarkan Islam wetu
telu, ajarannya dapat dilihat dalam geguritan Islam wetu telu, beliau
bergelar Haji Duta Semeru, konon entah benar apa tidak
beliau sudah pernah naik haji ke Mekkah dan namanya menjadi Haji Gureh. Ada ceritra kesamaan
kemampuan antara Danghyang Nirarta dengan Syekh Siti Jenar - tokoh sufi
(Islam) yang dianggap Murtad oleh para Wali, yaitu sama-sama mampu menghidupkan cacing jadi
manusia.
Menurut Babad Brahmana: “sewaktu Danghyang Nirarta tiba di
Bali, terjadi peristiwa
yang sangat menyedihkan. Putri beliau yang bernama Ida Ayu Swabawa dicemari dan
diperlakukan tidak senonoh oleh penduduk. Mendengar kisah sedih putrinya tersebut, Danghyang Nirartha
berkenaan memberikan ajaran ilmu Rahasya keparamartaan yang mampu melenyapkan segala
dosa. Setelah menerima ajaran itu Ida Ayu Swabawa lenyap menggaib dan berhasil
mencapai alam Dewa, dan di stanakan di Pura Pulaki sebagai Dewi Melanting Adapun
orang-orang yang menodai Ida Ayu Swabawa dikutuk menjadi wong Gamang di desa
Pegametan. (Soebandi, 1998)
Kisah Ini
merupakan upaya pemurtadan terhadap keyakinan agama Hindu, kerena umat Hindu
digiring untuk mengganti peran Dewi Sri Laksmi - Sakti Dewa Wisnu/Betare
Sedana, sebagai Dewa-dewi pemberi kemakmuran dan kesejahteraan, dengan Ida Ayu Subawa seorang anak manusia
yang dinodai oleh penduduk yang tiada lain adalah anaknya sendiri dan kemudin
diperkenalkan kepada umat sebagai Dewi Melanting. .
Selanjutnya
dalam Babad tsb juga disebutkan “Ketika Danghyang Nirarta memberikan ajaran
Ilmu rahasya kepada putrinya itu, ternyata didengar oleh insan berwujud seekor cacing
kalung, cacing kalung tersebut, tiba-tiba supa (musna) dosa papanya dan seketika menjelma menjadi Manusia perempuan
dan diberi nama Nyi Berit”.
Kisah ini mencerminkan sikap RASIS dan Sikap Megalomania-nya si penulis babad Brahmana. karena Nyi Berit sejatinya bukanlah jelmaan Cacing Kalung melainkan penduduk Bali yang lebih dahulu menetap di Bali (Bali Age) yang kebetulan hidupnya saat itu kurang beruntung. Sikap RASIS dan Superior ini ternyata berbuah karma, karena dikemudian hari Nyi Berit ini melahirkan anak oleh-nya.
Dalam babad Brahmana juga ditemukan kalimat : "rambut beliau Danghyang Nirartha di-Stanakan di Pura Kapurancak yang disebut SINIWI DI KAPURANCAK, sehingga Pura tersebut disebut PURA RAMBUT SIWI".
Penyebutan rabut Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak supaya dipuja oleh umat Hindu Bali seluruhnya, mencerminkan kepribadian si penulis Babad yang mencoba mengeser keyakinan Umat Hindu Bali yang semula memuja Betare Rambut Sedana sebagai manifestasi Dewa Wisnu bersama Saktinya Dewi Sri-laksmi, diganti oleh beliau Danghyang Niratha bersama anaknya Ida Ayu Swabawa.
Betare Rambut Sedana merupakan manifestasi Dewa Wisnu didampingi oleh saktinya dewi Sri Laksmi, bertugas memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan harta benda kepada para pemuja yang setia memuja beliau setiap hari.
Umat Hindu di Bali yang pernah membaca lontar seperti Lontar Wawacan Sulanjana atau mendengar ceritra Rakyat Jawa mengetahui bahwa Dewi Melanting bukanlah Ida Ayu Swabawa melainkan Dewi Sri Laksmi- sakti dari Betare Rambut Sedana (Wisnu). Sedangkan Betare Rambut Sedana BUKAN rambutnya beliau Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak seperti yang ditulis oleh Penulis Babad Brahmana, Karena Betare Rambut Sedana adalah nama lain dari Dewa Wisnu yang bertugas memberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada para Bhakta-nya.
Kisah ini mencerminkan sikap RASIS dan Sikap Megalomania-nya si penulis babad Brahmana. karena Nyi Berit sejatinya bukanlah jelmaan Cacing Kalung melainkan penduduk Bali yang lebih dahulu menetap di Bali (Bali Age) yang kebetulan hidupnya saat itu kurang beruntung. Sikap RASIS dan Superior ini ternyata berbuah karma, karena dikemudian hari Nyi Berit ini melahirkan anak oleh-nya.
Dalam babad Brahmana juga ditemukan kalimat : "rambut beliau Danghyang Nirartha di-Stanakan di Pura Kapurancak yang disebut SINIWI DI KAPURANCAK, sehingga Pura tersebut disebut PURA RAMBUT SIWI".
Penyebutan rabut Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak supaya dipuja oleh umat Hindu Bali seluruhnya, mencerminkan kepribadian si penulis Babad yang mencoba mengeser keyakinan Umat Hindu Bali yang semula memuja Betare Rambut Sedana sebagai manifestasi Dewa Wisnu bersama Saktinya Dewi Sri-laksmi, diganti oleh beliau Danghyang Niratha bersama anaknya Ida Ayu Swabawa.
Betare Rambut Sedana merupakan manifestasi Dewa Wisnu didampingi oleh saktinya dewi Sri Laksmi, bertugas memberikan kesejahteraan, kemakmuran dan harta benda kepada para pemuja yang setia memuja beliau setiap hari.
Umat Hindu di Bali yang pernah membaca lontar seperti Lontar Wawacan Sulanjana atau mendengar ceritra Rakyat Jawa mengetahui bahwa Dewi Melanting bukanlah Ida Ayu Swabawa melainkan Dewi Sri Laksmi- sakti dari Betare Rambut Sedana (Wisnu). Sedangkan Betare Rambut Sedana BUKAN rambutnya beliau Danghyang Nirartha yang Siniwi di Kapurancak seperti yang ditulis oleh Penulis Babad Brahmana, Karena Betare Rambut Sedana adalah nama lain dari Dewa Wisnu yang bertugas memberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada para Bhakta-nya.
Karena dianggap "Sakti" dan "mumpuni dibidang agama" pada zamannya maka Danghyang Nirarta diangkat menjadi Bagawanta
kerajaan di Gelgel. Pada saat itu yang menjadi penguasa di Gelgel adalah Dalem Waturenggong
(1460-1550 M).
Tidak berapa lama setelah menjabat sebagai Bhagawanta Kerajaan Gelgel, Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel menerapkan teori RASIS yang sejak semula telah menjadi Ideologinya, dan merestukturisasi masyarakat Bali menjadi berbagai macam kasta.
Dengan menggunakan DALIL-DALIL WEDA versi kaum misionaris Kristen Portugis di India maka Catur Warna dirobah menjadi Catur Kasta ( dari bahasa Portugis : Caste) dan ditetapkan menjadi Awig-Awig (peraturan kerajaan yang kemudian menjadi Adat istiadat).
Untuk mendukung gagasan-nya membentuk kasta-kasta di Bali, Danghyang Nirarta menuliskannya dalam lontar “ Widhi sastra sakeng niti Danghyang Nirarta” ( Singgih Wikarma,1998 : Leluhur Orang Bali, dari dunia babad dan sejarah, penerbit Paramita, Surabaya, halaman 58-63).
ini adalah salinan dari Aslinya : Lontar Widhisastra saking Niti Danghyang Nirarta.
Dan Ini adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Tidak berapa lama setelah menjabat sebagai Bhagawanta Kerajaan Gelgel, Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel menerapkan teori RASIS yang sejak semula telah menjadi Ideologinya, dan merestukturisasi masyarakat Bali menjadi berbagai macam kasta.
Dengan menggunakan DALIL-DALIL WEDA versi kaum misionaris Kristen Portugis di India maka Catur Warna dirobah menjadi Catur Kasta ( dari bahasa Portugis : Caste) dan ditetapkan menjadi Awig-Awig (peraturan kerajaan yang kemudian menjadi Adat istiadat).
Untuk mendukung gagasan-nya membentuk kasta-kasta di Bali, Danghyang Nirarta menuliskannya dalam lontar “ Widhi sastra sakeng niti Danghyang Nirarta” ( Singgih Wikarma,1998 : Leluhur Orang Bali, dari dunia babad dan sejarah, penerbit Paramita, Surabaya, halaman 58-63).
ini adalah salinan dari Aslinya : Lontar Widhisastra saking Niti Danghyang Nirarta.
Dan Ini adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Semenjak itu munculah Kasta yang dilekatkan kepada
agama Hindu di Bali. Kasta Brahmana yang isinya terdiri dari anak-anak keturunan
Danghyang Nirarta, termasuk juga keturunan yang sebelumnya dikatakann sebagai “supa-an-cacing kalung”(Nyi Berit), dan anak yang dikatakannya sebagai penyeroan (asisten rumah tangganya Pasek Bendesa Mas) yang bernama Ni Patapan. Kasta Ksatrya diberikan kepada keturunan
dalem Gelgel, di kecualikan kepada keturunan Dalem Taruk yang
ditetapkan sebagai Sudra. Kasta Wesya ditetapkan kepada Keturunan Majapahit yang menyertai Dalem Samprangan,(yang dikemudian hari tidak mau disebut Wesya dan mengaku sebagai Ksatrya), Sedangkan Kasta sudra ditetapkan kepada penduduk Bali Age.
Sistem Baru ini melecehkan dan menyimpangkan Sastra-Sastra, dan lontar-lontar Agama Hindu, terutama YayurWeda XXXI.11 berikut :
Brahmano-Asya mukham asid.
Bahu rajanyah krtah.
Uru tadasya yad Vaisyah.
artinya :
Brahmana adalah Mukanya.
Bahunya adalah Raja
Perutnya adalah Wesya
Kaki nya adalah Sudra
Maksudnya adalah : baik para Brahmana, para Ksatrya, para Wesdya dan para Sudra supaya saling bekerjasama tanpa ada yang mempunyai derajat lebih tinggi dan penting. karena semuanya penting dan harus sehat.
Dalam mantra Yayurweda XXXI.11 tidak ada menyebut nama kelompok warga (Marga/Soroh/Wangsa) atau nama seseorang.
Lontar Widdhisastra sakeng Niti Danghyang Nirarta, jelas -jelas berisi PENISTAAN terhadap suatu Kaum/Warga/Soroh/Wangsa dan tidak mempunyai legitiasi, apalagi mengartikan CATUR WARNA menjadi EMPAT KASTA. Karena sistem baru ini juga mengabaikan lontar-lontar Weda maupun Prasasti-prasasti yang sudah ada di Bali sebelumnya, seperti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Udayana mapun raja Anak Wungsu.
Prasasti Bila th. 995 C atau th. 1073 M sbb :
Sistem Baru ini melecehkan dan menyimpangkan Sastra-Sastra, dan lontar-lontar Agama Hindu, terutama YayurWeda XXXI.11 berikut :
Brahmano-Asya mukham asid.
Bahu rajanyah krtah.
Uru tadasya yad Vaisyah.
Padbhyam Sudro ajayata.
artinya :
Brahmana adalah Mukanya.
Bahunya adalah Raja
Perutnya adalah Wesya
Kaki nya adalah Sudra
Maksudnya adalah : baik para Brahmana, para Ksatrya, para Wesdya dan para Sudra supaya saling bekerjasama tanpa ada yang mempunyai derajat lebih tinggi dan penting. karena semuanya penting dan harus sehat.
Dalam mantra Yayurweda XXXI.11 tidak ada menyebut nama kelompok warga (Marga/Soroh/Wangsa) atau nama seseorang.
Lontar Widdhisastra sakeng Niti Danghyang Nirarta, jelas -jelas berisi PENISTAAN terhadap suatu Kaum/Warga/Soroh/Wangsa dan tidak mempunyai legitiasi, apalagi mengartikan CATUR WARNA menjadi EMPAT KASTA. Karena sistem baru ini juga mengabaikan lontar-lontar Weda maupun Prasasti-prasasti yang sudah ada di Bali sebelumnya, seperti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Udayana mapun raja Anak Wungsu.
Prasasti Bila th. 995 C atau th. 1073 M sbb :
Prasasti Bila, berangka tahun 995 C atau 1073 M) yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu menyebutkan peran para Brahmana, itu berarti : yang disebut Brahmana pada zaman itu pasti bukan Anak cucu Danghyang Nirartha, karena Danghyang Nirartha baru tiba di Bali th. 1489 M ( hampir 500 th setelah prasasti Bila diterbitkan. Yang disebut para Brahmana pada prasasti Bila th. 995 C (1073 M) pastilah Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, serta para Bhamana keturunan Rsi Markandeya dan Mpu Kepandean yang sudah Dwijati (Mpugdala) yang membantu raja Anak Wungsu.
Seperti dicatat dalam sejarah, bahwa pada saat Prabu Udayana menjadi raja di Bali (989-1011M), terdapat 9 sampradaya (sekte agama Hindu) di Bali. Untuk membangun agama Hindu di Bali, Prabu Udayana meminta bantuan 5 Brahmana bersaudara yang berasal dari JAMBUDWIPA / INDIA (I Gusti Bagus Sugriwa, 1956 : Babad Pasek, penerbit Balimas Dps. hal.15)) diantaranaya : Mpu Rajakerta yang kemudian menjadi Senopati Kuturan sekaligus Bhagawanta Kerajaan, didampingi oleh saudara-saudaranya : Mpu Semeru di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Gnijaya di Lempuyang, sedangkan adiknya yang paling kecil Mpu Baradah tetap tinggal di Jawa diminta oleh Raja Airlangga (Anak Prabu Udayana - kakak dari Anak Wungsu) menjadi Bhagawanta kerajaan di Kahuripan- Jawa Timur.
Setelah kasta-kasta ini disahkan di Bali, diberlakukan pula perbudakan. Raja-Raja Bali
dengan dukungan Kelompok yang mengaku “Brahmana” bentukan Danghyang Nirarta dan Dalem Waturenggong, membuat awig-awig untuk mengesahkan perbudakan. Menghukum rakyat Bali yang
beragama Hindu (awig-awig tersebut tidak berlaku bagi umat selain umat Hindu)
yang melanggar awig-awig sebagai budak dan boleh di jual oleh Raja.
Raja-raja Bali memperoleh harta untuk membangun Puri-purinya yang megah dengan mengekspor para budak ber-agama Hindu
kepada Kompeni di Batavia.
Sistem Kasta dan Perbudakan ini jelas
mengadopsi konsep-konsep Injil dan per-budakan dalam masyarakat
Arab dan Eropa tanpa reserve. Karena dalam Agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta dan
Perbudakan.
Sistem Perbudakan yang dijadikan komoditas Ekspor
oleh Raja-Raja Bali, menyumbang hampir 60 % budak-budak kepada VOC di Batavia.
Budak-budak beragama Hindu dari Bali di jual ke Batavia, Hindia Barat,
Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Sebagai contoh: klan Sudira di Depok yang disebut “Belanda Depok”, adalah
orang yang berasal dari Gianyar dan tidak ada sedikitpun identitas ke
Hinduan atau Bali nya yang tersisa, hanya saja kalau kita tanya mereka
mengaku kakeknya berasal dari Gianyar-Bali, Demikian juga Untung Surapati,
budak belian berasal dari Bali berkat perjuangannya yang gigih dan
kecerdasannya bisa menjadi Tumenggung di Pasuruan - Jawa Timur tetapi identitas ke Hinduan-nya sedikitpun tidak
tersisa.
Para Durjana menguasai Umat Hindu
Dari manakah Raja-Raja Bali saat itu men-dapat ilmu
tentang perbudakan dan kasta-isme?, Apa sumbangan para Brahmana dan para Raja
Bali saat itu ( abad 16-19 ) terhadap umat dan Agama Hindu?, Kenapa para Durjana serakah bisa menguasai umat Hindu di Bali saat itu ?.
Inilah tanda-tanda kehancuran Agama Hindu di
Indonesia. Karena para “Brahmananya” tergoda oleh prestise pribadi, harta dan
kuasa. Para Brahmana dan Raja tidak cerdas mengamati peta politik global, tidak peduli
terhadap ajaran kitab suci Weda. Para Raja bermahkotakan Emas, dan Para Brahmana ber
Ketu (mahkota) bertatahkan permata dan
emas, sementara rakyat/umat-nya telanjang tanpa busana, fenomena ini sangat
menarik minat wisatawan Eropa datang ke Bali, untuk melihat kemolekan
gadis-gadis Umat Hindu Bali yang ber-telanjang dada mondar-mandir dijalan. Dan
ini membanggakan para raja-raja Bali.
Sebelum kedatangan Danghyang Nirarta, tidak ada
kasta-kasta maupun Budak dari Bali. Umat Hindu di Bali tidak ada yang bernama Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda,
maupun I Dewa. Silahkan lacak nama-nama orang Bali pada Babad-babad, kapan
nama-nama itu mulai muncul dalam khasanah nama-nama orang Bali. Tidak ada yang
namanya AA.IB. IC. ID,IGN IGst, maupun I Wayan yang mengaku Brahmana, Ksatrya,
maupun Sudra. Martabat orang Bali ditentu-kan oleh perilakunya. Warna nya
ditentukan oleh pekerjaannya. Bahkan Sri Kresna Kepakisan raja Pertama
Gelgel sebelumnya bernama Ketut Kresna Kepakisan, karena merupakan anak
ke 4 dari Danghyang Kepakisan seorang Brahmana dari Jawa Timur. Kresna
Kepakisan tidak bernama Ida Bagus Kresna Kepakisan, meskipun beliau anak
seorang Brahmana, tidak juga memakai
nama Anak Agung atau I Dewa Kresna Kepakisan, meski beliau menjadi raja diraja
Bali. Namanya cukup menjadi Sri Kresna Kepakisan.
Begitu pula raja-raja Bali maupun Jawa sebelumnya
seperti; Sri Ugrasena, Sri Kesari Warmadewa, Sri Udayana, Sri Wijaya, Sri
Dharmawangsa dll, cukup memakai gelar Sri, sedangkan panglima perang pejabat
kerajaan lebih senang memakai nama-nama binatang, seperti; Kebo Iwo, Kebo
Parud, Gadjah Mada, Gadjah Maruga, Patih Wulung, dll. sebagai tanda bahwa
Agama Hindu dan adat Bali/Jawa saat itu sangat egaliter.
Salah seorang anak Sri Kresna Kepakisan, yaitu Dalem Taruk anak anaknya bernama
I Gede Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Balangan, Merupakan generasi ke 3
Dinasti Kepakisan, tidak memakai gelar bentukan Danghyang Nirarta dan Dalem Waturenggong.
Kasta di Bali pada masa kolonial
Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van
Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis.
Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande (bukan Sri
Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti
masalah hukum, dan tidak mengerti teks-teks hukum keagamaan seperti Agama,
adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa
kuno.
Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van
Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan
bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta.
Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam
bahasa Melayu dan bahasa Bali disesuaikan dengan selera dan kepentingan
kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max
Muller beserta kawan-kawannya dalam menter-jemahkan kitab Weda yang
disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey
Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling
mencengangkan oleh Kolonial Belanda.
(Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005
hal. 51).
Kitab Agama, adigama, purwa agama dan kutara
agama, sewaktu diterapkan oleh Raja-Raja Hindu di Jawa, tidak pernah
menerap-kan kasta-kasta, karena tidak ada satu kata pun dalam kitab Hukum Hindu maupun kitab
Weda yang berisi kata kasta.
Kasta tidak dikenal dan merupakan kata asing
bagi umat Hindu, apalagi menjadikan para pesakitannya sebagai Budak.
Kasta dan Budak adalah akal-akalan kolonialis semata, sebagai cerminan tradisi
kitab Injil dan Al Quran
yang diberlakukan di Arab dan Eropa.
Pada tahun 1910 kolonialis Belanda
meng ikuti jejak rekan Eropa-nya di India yaitu kolonialis
Inggris, mendukung penetapan konsep kasta
sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali. Dengan demikian koloni-alis Belanda, melegalkan dan meneguhkan hierarki kasta beserta
seperangkat aturan menyangkut hubungan antar kasta dan hak-hak istimewa kasta,
yang sebelum-nya tidak pernah ada dalam praktek di Bali. Dalam kata-kata V.E.
Korn, orang Belanda, pakar Bali dan kontrolir Badung 1925
: ” Bukan saja triwangsa diberi tempat yang terlalu
penting, tetapi juga dilindungi melalui sederet pasal-pasal yang sangat jauh melampaui
para raja dan teks-teks hukum tempo dulu”. Pendeknya, apa
yang diartikan sebagai usaha Belanda untuk bergiat dalam “tradisi” Bali sebagai
politik etis, sebetulnya adalah penciptaan tatanan hierarki baru yang pasti, di mana
kekuasaan golongan kasta tinggi lebih besar daripada sebelumnya, dan terlebih
lagi di sahkan oleh struktur legal, ideologis dan koesif negara kolonial. (Geoffrey Robinson,Sisi Gelap Pulau Dewata,2005 halaman 51)
Pemurtadan Umat Hindu makin menjadi-jadi dengan tujuan Konversi
Umat Hindu telah dibuat tersesat oleh sarjana
pseudoilmiah dan misionarisme, juga oleh umat Hindu sendiri yang tercemar
pemikiran misionaris dan tidak kukuh mempertahankan Dharma. Penyesatan
tersebut bahkan sampai ketingkat pemurtadan, menentang perintah kitab suci
Yayur Weda XXVI.2 : Yathemam vacam kalyanim avadani janebhyah, Brahma
rajanyabhyam sudraya caryaya ca svaya caranaya ca artinya : hendaknya wartakan sabda suci ini kepada
seluruh umat manusia, baik kepada para Brahmana, para raja-raja maupun kepada
masyarakat pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku
maupun orang asing sekalipun.
Juga
pemurtadan Sloka BG. XVIII.70 : Adhyesyate ca ya imam, dharmyam
samwa-dam awayoh,jnanayajnena tena‘ham, istah syam iti me matih/ Mereka yang membaca
percakapan-Ku ini, oleh mereka
Aku telah dipuja dengan yadnya Ilmu Pengetahuan. Demikian telah Aku nyatakan.
Sraddhawan anasuyas ca, srinuyad api
yo narah, so’pi muktah subham
lokan, prapnuyat punyakarmanam (BG.XVIII.71) Artinya : Orang yang mempunyai keyakin-an dan tidak
mencela Orang seperti itu, walaupun
hanya sekedar mendengar orang
berbicara kitab suci. Ia juga akan dibebaskan, mencapai dunia kebahagiaan
sebagai manusia yang berbuat kebajikan.
Rakyat Bali yang bukan “berkasta Brahmana “ dilarang belajar Weda. Hanya
mereka yang menyebut dirinya kasta “Brahmana” saja yang boleh belajar agama.
Agama dimono-poli oleh Satu kelompok, sedang rakyat tidak boleh belajar Agama Hindu,
kalau belajar Agama Hindu nanti bisa Buduh (=gila) katanya. Bahkan Resi Gotama memerintah-kan untuk mengecor mulut
orang-orang diluar Kasta Brahmana, apabila
berani membaca Weda, memerintahkan untuk mengecor dengan timah panas
telinga orang-orang diluar kasta Brahmana kalau
berani mendengar mantra/seloka Weda. Dengan Kata lain Umat diluar kasta Brahmana
tidak boleh mendengar dan membaca Kitab Weda.
Kemudian dipromosikan pula konsep aywa were tan siddhi palania, (pembalikan
dari, Ayu Were Siddhi palania didalam kitab purwagama) dan “anak mule keto” suatu
ungkapan yang selalu terdengar kalau ada anak-anak/umat Hindu bertanya tentang
Agama Hindu. Nawegang antuk linggih, juga suatu ungkapan yang selalu
terdengar mendahului percakapan terhadap orang yang baru dikenal. Inilah
pemurtadan dan penyesatan yang menjadi-jadi.
Pemurtadan dan penyesatan tersebut didukung oleh pemerintah kolonialis
Belanda dan kaum misionaris kristen yang di-kirim untuk mengalih
agamakan orang Bali. Pemerintah Kolonialis menguatkan konsep kasta dalam praktek
pemerintahan kolonial. Dalam Notulen konferensi administratif tanggal 15-17 september 1910, collectie Korn no 166; Pemerintah
kolonial Belanda mendukung konsep kasta, sebagai pondasi prinsipil masyarakat
Bali. Dalam penerapan-nya, Pemerintah kolonial Belanda memper-luas kasta-kasta dengan
mengangkat pegawai pamong praja yang pro kolonial dan memberi nya gelar bangsawan secara turun temurun.
V.E. Korn menyatakan bahwa sebelum
pemberlakuan pemerintahan kolonialis Belanda di Bali, banyak kaum non kasta
yang meduduki jabatan-jabatan dalam otoritas politik seperti : sebagai
punggawa, sedahan, perbekel dan sebagainya dibanding sesudah-nya. Pemerintah
Belanda begitu yakin pada gagasan bahwa ketiga kasta tertinggi menyusun fondasi terpenting masyarakat Bali,
maka nyaris anggota kasta-kasta itu sajalah yang ditunjuk untuk memegang
jabatan tinggi. Dengan mengutip beberapa contoh, Korn mengatakan
bahwa di Buleleng (Bali Utara) sebelum aturan kastaisme diterapkan, 16
dari 26 Punggawanya bukan dari ketiga kasta tinggi. Bahkan banyak kelompok
diluar ketiga kasta menduduki jabatan tinggi misalnya sebagai pejabat pajak dan
hakim pada masa pra kolonial. (V.E. Korn : Het Adatrecht
van Bali, 1932 dalam Sisi Gelap Pulau Dewata oleh Geoffrey Robinson, 2005)
Penolakan sistem Kasta yang dikait-kaitkan dengan
Agama Hindu bukannya tidak pernah ada saat itu, bahkan saat gagasan
pengadopsian Catur Warna menjadi empat kasta dimunculkan, para Cendikiawan
Hindu maupun yang perduli akan perkembangan Agama Hindu sudah bereaksi
memprotesnya, misalnya dengan terbitnya Surya Kanta, koran berbahasa
Melayu di Bali tahun 1920-an. Tetapi gempuran para Indolog pendukung kastaisme
ditambah dukungan penguasa pribumi boneka kolonialis dan “Brahmana palsu”, lebih
dahsyat dari pada yang menentang kastaisme. Terlebih lagi kondisi umat
Hindu saat itu tidak berdaya oleh kolonialisme, sehingga konsep kaku kasta
maupun aturan-aturannya tetap dijalankan, meski terus mendapat penentangan.
Pada tanggal 20 Juni tahun 1916 warga Desa Lodjeh,
Karangasem, memprotes keputusan Raad Van Kerta, disusul pada bulan Mei
1917 warga Desa Sukawati Gianyar. Dengan todongan bedil kolonialis Belanda,
protes-protes tersebut dapat dipadamkan dengan dibayar nyawa warga Umat Hindu
yang tidak berdaya. Pada kasus Sukawati sebanyak 5 orang umat Hindu mati
dibunuh, 11 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap dan di jual sebagai budak.
(Geoffrey Robinson: Sisi gelap Pulau Dewata, LKiS Yogya.2006)
Kasta dan Perbudakan
tidak sesuai dengan ajaran kitab Weda. Tidak ada satu kata-pun dalam
kitab Weda maupun kitab Hukum Hindu yang memuat kata kasta. Kasta dan
perbudakan merupakan produk import yang berasal dari budaya perbudakan
masyarakat Arab dan Eropa yang tercemin dalam kitab suci Al Qur’an dan Injil
(baca Injil Imamat 25/44-46, keluaran 21/1-6,
timotius 6/1,titus 2/9, Efesus 6/5-6. I Petrus 2/18 maupun Al Qur’an Surat An Nissa ayat 24 dan
Surat Al Mu’minuum ayat 1-6).
Bahwa Agama Hindu telah disudutkan dari dua sisi.
Dari sisi kebijakan pemerintahan kolonial dan sisi pemikiran. Bahkan sampai
Indonesia merdeka praktek-praktek pengang-katan pejabat berdasarkan
kastaisme terus berlanjut.
Ir. Soekarno yang lahir dari rahim Ni Nyoman Rai
Sarimben, warga pasek Bale Agung Buleleng - leluhurnya
satu Ayah dan satu Ibu dengan Ken Dedes-Permaisuri Ken Arok,
salah satu Leluhur Raja-Raja di Jawa, mengganti nama ibundanya menjadi Ida Ayu
Nyoman Rai, guna melanggengkan Kasta-isme yang tidak tahu diri.
Tumbuhnya kesadaran baru dikalangan Umat Hindu
Pada tahun 1980-an, tumbuh kesadaran baru
dikalangan Umat Hindu. Dengan sangat Hormat, berkat Jero Mangku Gde Ketut
Subandi seorang Pemangku Adat dan ahli babad Bali, membuka
belengu tirani kastaisme di Bali. Dengan Lantang Beliau menganjurkan kepada
Umat Hindu untuk membaca Weda dan me-dwijati beberapa umat menjadi
sulinggih ( Ida Pandita Mpu ). Jero Mangku Gde Ketut Subandi juga menunjukkan
bukti-bukti kesejarahan leluhur orang Bali, melalui babad-babad, yang selama
ini telah dimanipulasi dan di-kotak-kotak kan diberbagai kasta.
Kini abad tehnologi, Kasta sudah mulai luntur baik
di India maupun di Bali. Bukti-bukti kesejarahan sudah ditunjukkan. Dalil-dalil
rasisme/kastaisme yang dilekatkan kepada umat Hindu sudah ditolak karena
terbukti merupakan propaganda kaum Adharma dan ditampilkan Catur Warna
yang asli, seperti tertulis dalam kitab-kitab Weda (bukan Weda terjemahan Max
Muller dkk). Tetapi kaum Adharma tidak pernah kehilang-an energi untuk
terus memompakan sema-ngat Kastaisme, yang dilekatkan kepada agama Hindu.
Rupanya penyesatan Weda oleh kaum Adharma juga
tidak pernah kendor. Ibarat Buruk Muka Cermin di Belah; Konsep
perbudakan di Al Quran dan Injil diterap-kan pada masyarakat Hindu
di India dan Bali yang terjajah. Rakyat India dan Bali saat itu tidak berdaya
karena dalam tekanan pen-jajahan sehingga seolah-olah perbudakan / kastaisme bersumber dari Weda.
Bahwa kasta-kasta di Bali di buat karena
kebodohan umat Hindu saat itu , dan diman-faatkan oleh kaum hedonis dan kolonialisme. Kini Umat Hindu sudah pintar-pintar. Bisama Parisadha Hindu
Nomor : 03/ Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/ 2002 tertanggal
29 Oktober 2002 tentang Pengamalan Catur Varna, telah dikeluarkan, tetapi kalau
hanya sekedar bhisama, masih banyak pembangkangan, harus ada sangsi hukum
positif melalui perda atau undang-undang Desa pekraman yang baru, untuk
menghapus diskriminasi dan kastaisme. Awig-awig dibuat oleh manusia, bisa
diperbaharui dengan awig-awig yang sesuai dengan tuntutan jaman
untuk kepentingan Manusia. Awig-awig yang terbukti sesat karena
mengacu terjemahan misionaris kristen, harus di musnahkan dan diganti dengan
awig-awig baru yang lebih manusia-wi dan agamis sesuai dengan kitab
Weda asli yang Berbahasa sansekerta.
Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna. Catur Warna adalah Empat
Tipe Kepribadian Manusia
Empat kasta tidak sama dengan Catur Warna. Kasta
merupakan statifikasi sosial yang sangat kaku berdasarkan atas keturunan, Sedangkan Catur Warna merupakan Tipologi
Kepribadian Manusia,yang terbentuk oleh interaksi dinamis triguna karma. Seperti disebutkan dalam BG.
IV.13 : Chatur Varnyam maya srishtam guna karma
vibhagasah, artinya:
Catur warna adalah ciptaanku bardasarkan guna karma yang melekat
padanya.
Triguna sebagai dasar pembentukan Catur Warna
terdiri dari Satwam, Rajas dan Tamas.
BG.XIV.5, menyebutkan :
Sattwam Rajas Tamas iti Guna Prakritisamdhawah, artinya:
Satwan rajas tamas merupakan sifat bawaan yang
terlahir dari prakirti.
Selanjutnya Bagawad Gita XIV.6 menyebut-kan Ciri-ciri Satwam sebagai berikut :
Nirmalawat = Sifat yang tidak
tercela.
Prakasakam = Bercahaya
Anamayam = tidak mengenal sedih/ menderita
Sukhasangena = selalu
memberi rasa senang
Jnanasangena = memberikan
ilmu pengetahuan
Anagha = tidak
tercela
Ciri-ciri Rajas (BG.XIV.7) :
Raga = nafsu,
Atmakam = sendiri,
Trsna = nafsu birahi,
Sanga = terikat,
Karmasangena = terikat oleh karma.
Dahinam = Jasad Rohani.
Ciri-ciri Tamas (BG.XIV.8) :
Ajnanam = tidak berpengetahuan,
Mohanam = kebingungan,
Pramada = tidak peduli/hirau/masa bodo.
Lasya = malas,
Nibrabhis = ketiduran/malas ,
Nidra = tidur,
Satwam menghubungkan seseorang kedalam kebahagiaan, Rajas menghubungkan orang dalam perbuatan/ karma,
sedangkan Tamas menutup pengetahuan
sehingga menjadi kurang waspada. (BG.XIV.9).
Selanjutnya Bagawad Gita XIV.11-13,
menyebutkan : apabila badan ini didominasi oleh Satwam
maka Ilmu pengetahuannya menembus didalam
badan melalui semua pintu. Apabila didominasi oleh Rajas maka perilaku yang tampak adalah:
Lobham = Loba, giat
dalam usaha,
Prawrttir = Kegiatan
kerja duniawi.
Arambah = giat
berusaha.
Sprha = kemauan
kuat.
Sedangkan apabila Badan ini didominasi oleh Tamas maka akan tampak :
Aprakaso = kekurangan cerah/tdk bersinar,
Aprawrtti = malas.
Pramada = tidak
peduli/teledor.
Moha = bingung,
Nidralasya = suka tidur,
Mohanam atmanam = kesesatan jiwa
Triguna sebagai pembentuk struktur Catur Warna terdiri dari :
1.
Satwam, merupakan gudang nilai-nilai moral
dan Ilmu pengetahuan, sehingga mampu
melakukan sensor bagi individu dalam menentukan salah atau benar, baik atau
jahat, karena Satwam memperhati-kan prinsip-prinsip moral
dan merupa-kan representasi dari norma
umum dan kesusilaan.
2.
Rajas, mewakili
kenyatan fisik dan sosial seseorang. berpungsi sebagai penyeim-bang antara
Tamas dan Satwam.
3.
Tamas, merupakan struktur kepribadian
primitif, tidak sadar, bekerja tidak rasional dan infulsif,karena merupakan dorongan kemauan insting.
Catur warna dalam Agama Hindu sangat terbuka.
BG.XVIII.41. menyebutkan : Brahmana ksatrya wisam sudranam ca parantapa,
karmani prawibhaktani swabhwa prabhawir gunah. Artinya Brahmana Ksatrya Wesya dan Sudra
perilakunya dibentuk oleh sifat bawaan guna (triguna).
Pola perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus
oleh tiap-tiap individu menurut Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro disebut Kepribadian/
personality . Sedangkan menurut Salvador R Maddi, Kepribadian merupakan
seperangkat karakteristik yang relatip mantap,kecenderungan dan perangai yang
sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan faktor faktor sosial, kebudayaan
dan lingkungan. Perangkat variabel ini menentukan persamaan dan perbedaan
perilaku individu.
Jadi Catur Warna bisa pula diarti-kan sebagai Empat Tipe kepribadian manusia - menurut Ilmu
Psikologi.
Sangat mungkin Sigmund Freud membangun teori Psiko-dinamis
Kepribadian nya setelah membaca Seloka-seloka Gita ini. Sigmund Freud:
menerangkan perbedaan kepribadian individu karena tiap orang mengalami perangsangan
pokok yang berbeda-beda, yang disebabkan oleh pertentangan terus menerus antara
dua bagian dari struktur kepribadiannya yang menurut istilah Freud disebut
; Id, Ego dan super ego.
Kepribadian (bhs Inggris Personality), tidak
sama dengan sifat/watak (Bhs Inggris character ). Kepribadian/personality
bersifat menetap,konsisten sepanjang waktu dan dalam berbagai situasi.
sedangkan watak/ character sifatnya sewaktu-waktu dapat berubah, misalnya
besifat atau berwatak keras kepala, pemarah dls.
Didalam kitab Weda, Seseorang disebut
Brahmana kalau memperlihatkan ciri-ciri
Brahmana seperti disebutkan dalam seloka Bagawad Gita . XVIII.42
sebagai berikut :
Samo = khusuk/tenang,
Damas = menguasai
panca indra/mampu mengendalikan diri.
Tapah = mampu
mengendalikan nafsu
Saucam = suci.
Arjawa = luhur budinya.
Ksanti =
damai/tenang,
Jnanam = berpengetahuan.
Wijnanam = bijaksana/berpengalaman.
Astikyam = religius.
Seseorang disebut
Ksatrya apabila mem-perlihatkan ciri-ciri Ksatrya
seperti disebut-kan dalam Bagawad Gita.XVIII.43 yaitu :
Sauryam = heroisme/pemberani.
Tejo = lincah.
Dhritir = teguh .
Daksyam = pandai
menyelesaikan tugas,
Yuddhe = siap
bertempur.
Apalayamam = tidak pengecut.
Dana = dermawan.
Iswarabhawa = bersifat memimpin/ berwibawa.
Seseorang disebut
Wesya apabila mem-punyai ciri-ciri Wesya
seperti disebutkan dalam BG .XVIII.44 sebagai berikut :
Krsi = mengusahakan pertanian.
Gauraksya = memelihara lembu/berternak.
Wanijyam = berdagang.
Sedangkan seseorang disebut Sudra kalau mempunyai ciri-ciri
Sudra seperti disebut dalam BG.XVIII.44 sebagai berikut :,
Paricaryatmakam = suka melayani
Seorang Brahmana bisa saja terlahir dari warna
Sudra/pelayan, seperti Narada Muni,
meskipun orang tuanya seorang Babu (pembantu rumah tangga) berkat proses
belajar, akhirnya Narada mampu menjadi Brahmana, bahkan kemudian diangkat menjadi Penghulu
di Sorga dengan sebutan Betare Narada. Demikian juga Ksatrya bisa tumbuh
dikalangan Sudra contohnya Radeya, anak
kusir kereta, dan Damar Wulan seorang gembala kuda, dan Juga Bambang Ekalawiya, seorang
anak Nisada yang tidak mau diangkat menjadi murid oleh Rsi Drona karena
dianggap bukan Keturunan Ksatrya, berkat proses belajar yang ulet
mereka mampu menjadi Ksatrya. Ksatrya
bisa juga berasal dari anak serang bromocorah, seperti Ken Arok-anak seorang
pencuri dan penjudi, berasal
dari orang tua yang bukan Ksatrya, bukan pula berasal dari Brahmana, berkat proses
belajar Ken Arok
akhirnya bisa menjadi Ksatrya /Raja. Seorang Ksatrya bisa juga
besar dikalangan peternak sapi/wesya contohnya Sri Kresna. Seorang Ksatrya bisa juga
lahir dari kalangan yang tidak diketahui identitas/asal-usulnya, misalnya
Mahapatih Gadjah Mada. Seorang Ksatriya bisa juga berasal dari Brahmana
misalnya Kresna Kepakisan, Darmawangsa
Teguh, Arya
Tatar, Patih Ulung. Dan juga I Gusti Agung
Pasek Gelgel yang diangkat menjadi Caretaker Raja Bali th. 1345-1352 oleh Mahapatih Gadjah Mada
adalah keturunan seorang Mpu. Seorang Brahmana bisa juga berasal dari keturunan
Raksasa seperti : Prahlada, anak Raksasa
Hiranya Kasipu, bisa menjadi Brahmana. Seorang Brahmana atau Ksatrya
bisa pula mempunyai anak menjadi Sudra atau Wesya, tergantung bagaimana orang
tua mendidiknya dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Yayur Weda XXX.5 menyebutkan
: Brahmane brahmanam, Ksatraya
rajanam, marudbhyo vaisyam, tapase sudram artinya:
Brahmana untuk pengetahuan, Ksatrya untuk
perlindungan, Waisya untuk perdagangan, dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Maksud dari mantra tersebut seorang yang mempunyai tipe
kepribadian Brahmana sangat cocok untuk melakukan pekerjaan berkaitan
dengan ilmu pengetahuan seperti menjadi seorang : guru/dosen/acharya, rohaniawan maupun pendeta/sulinggih.
Sedangkan yang mempunyai tipe kepribadi-an Ksatriya, lebih cocok untuk berprofesi sebagai yang melindungi seperti; Prajurit/ tentara, Penguasa, dan Pejabat pemerintahan.
Sedang mereka yang bertipe kepribadian Wesya
lebih cocok kalau perkerja sebagai Pedagang, Pengusaha, Peternak atau Petani .
Sedangkan mereka yang mempunyai tipe
kepribadian Sudra lebih cocok berprofesi/ bekerja sebagai pegawai gajian yang
lebih banyak menggunakan tenaga fisik dari pada kemampuan intelektual-nya, seperti menjadi buruh atau pegawai/ karyawan yang tidak menentukan kebijakan, karena tipe kepribadi an Sudra lebih suka mengerjakan pekerjaan fisik/suka melayani dan kurang dalam kemampuan
Intelektual. (kurang cerdas).
Dengan mengetahui tipe kepribadian seseorang sangat
membantu untuk kemajuan dalam memilih profesi. Dengan demikian Agama Hindu
sudah sangat maju dalam bidang Ilmu Psikologi. Tentu Profesi ini tidak
menetap, tergantung proses belajar dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Tipe kepribadian yang menetap memberikan arahan
kepada kita untuk menyadari potensi maupun kemampuan kita masing-masing,
sehingga akan membawa kita ke arah kesuksesan.
Seorang yang berbakat sebagai pengusaha
akan lebih sukses kalau menjadi pengusaha dari pada menjadi tentara. Atau
seorang yang berbakat jadi Guru akan lebih sukses kalau dia menjadi guru, dibandingkan
kalau menjadi pedangang. Atau seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan Intelektual (IQ) dan
kecerdasan Emosional (IE) lebih baik bekerja sebagai pegawai gajian/atau buruh
dari pada memaksakan diri bekerja sebagai Pendeta.Atau bercita-cita menjadi
pedagang/ pengusaha.
Lalu bagaimana menentukan tipe kepribadian
seseorang ?.
Menurut R.B.Cattell; ada 16 ciri
dasar yang melandasi perbedaan perilaku
individu. Dalam riset yang dihasilkan dari pengem-bangan daftar
pertanyaan 16 PF Cattell (sixteen Personalities Factor), digunakan untuk mengukur sejauhmana orang
mempu-nyai ciri-ciri tersebut. Diantara ciri-ciri yang diindentifikasi oleh Cattell
adalah: pendiam-ramah tamah,praktis-imajinatif.santai-tegang rendah hati-tegas.
Ke 16 ciri Cattell tersebut bersifat 2 kutub, masing masing memiliki 2 ektrim(
contoh santai-tegang).
Kitab Bagawad Gita dapat dipakai se-bagai
referensi Ilmu Psikologi modern untuk mengetahui tipe-tipe kepribadian
sese-orang. Kepribadian dapat diketahui dengan memakai ciri-ciri
kepribadian ( Tait of personality ) dengan mengacu pada sloka-sloka BG
XIV.6-8 dan BG XIV. 11-13 dan BG. XVIII.42-44 diatas. Dengan mengacu sloka-sloka
tersebut serta mengamati pola-perilaku yang ditunjukkan secara terus menerus
oleh seseorang, dapatlah kita menyimpulkan, seseorang mempunyai tipe kepribadian Brahmana atau tipe Kepribadian Ksatrya, tipe Kepribadian Wesya atau tipe Kepribadian Sudra.
Dengan menggunakan Ilmu Psikologi ini, dapat pula
kita menilai, apakah seorang Perwira Tentara layak disebut Ksatrya apa tidak. Seorang
Pendeta layak disebut Brahmana apa tidak.
Bagaimana dengan Perwira yang kabur dari medan perang/ desersi, atau
seorang Pendeta yang (maaf) membisniskan kependetaannya atau menjual
doa-doanya?. Ataupun Pengusaha besar (wesya) yang mendapatkan kekayaan
dengan menjual produk yang dilarang oleh Agama maupun Undang-undang. Atau
seorang buruh tani yang berperilaku sopan santun, selalu membuat orang
lain senang, berpengetahuan Agama yang luas, berpe-nampilan
menarik?. Tetapi
karena keadaan membawanya menjadi
Buruh?????
Dengan demikian Catur Warna tidak tepat kalau diterjemahkan sebagai Empat
kelompok masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan atau profesinya. Karena pekerja-an seseorang
belum tentu sesuai dengan pola perilakunya. Catur Warna lebih cocok diterjemahkan : Empat tipe kepribadian manusia.
Untuk mengetahui tipe kepribadian sese-orang dapat menggunakan
serangkaian tes dengan mengacu sloka-sloka Bagawad gita XIV.11-13 dan BG.
XVIII.42-44. Dengan mengetahui tipe Kepribadiannya, diharap-kan seseorang
memilih profesi/pekerjaan yang sesuai dengan tipe kepribadiannya. Sehingga membawa ketenangan dan
kesuksesan dalam kehidupannya, karena sesuai dengan “The Right Men and The
Right Job”. Manusia bekerja/berprofesi sesuai dengan minat dan keahliannya.
Kesimpulan
1.
Kasta tidak dikenal dalam Kitab
suci Weda
2.
Kasta yang dikait-kaitkan dengan
Weda berkat upaya Max Muller, William Jones, Herbeith Hope Risley untuk
kepentingan mengalih agamakan dan kolonialisme
3.
Kolonialis Inggris memperkuat
Kasta-isme di India dengan Undang-Undang Kolonial tahun 1901
4.
Kasta mulai menyebar di Indonesia
semenjak runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit
5.
Kasta di Bali di buat oleh
Danghyang Nirarta sekitar abad ke 15 karena terpengaruh pemikiran Rasialis dan
Perbudakan Arab dan Eropa
6.
Kolonialis Belanda memperkuat
kastaisme di Bali
7.
Umat Hindu telah menolak konsep
kasta semenjak kasta dikaitkan dengan Catur Warna, bahkan sampai mengor-kan nyawa dan diasingkan sebagai budak
belian.
8.
Catur Warna tidak sama dengan
Empat Kasta
9.
Catur Warna adalah Empat Tipologi
Kepribadian Manusia berdasarkan interaksi dinamis triguna (satwam, rajas, tamas) dan Karma
10.
Kasta merupakan Stratifikasi
sosial yang kaku, merupakan cermin rasialisme dan perbudakan masyarakat Arab
dan Eropa yang mendasarkan masyarakatnya pada kitab Al Qur’an dan Injil
Daftar Kepustakaan
5.
Donder,I Ketut; The tru history
and the religion of India. Dalam Media Hindu ed. 92 halaman 44-45.
Oktober 2011
6.
Singgih Wikarman, I Nyoman; Leluhur Orang Bali, dari dunia
babad dan sejarah. Paramita Surabaya, juli 1998
7.
Jero Mangku Ketut Soebandi; Babad
Warga Brahmana, Pandita Sakti Wawu Rawuh, asal-usul, peninggalan, dan Keturunan
Danghyang Nirartha, Pustaka Manikgeni, Jkt. 1998
8. Geoffrey Robinson ; Sisi Gelap
Pulau Dewata,LkiS, Yogyakarta. 2005
9.
Nurul Huda; Tokoh Antagonis Darmo
Gandul; pura pustaka, Yogyakarta. 2005
10.
Pudja G :Bagawad gita : lembaga peneliti dan pengembangan Weda, Maya
Sari Jkt 1985/1986
11.
Kanalayan M. Talreja,Veda &
Injil, Ngakan Made Maadrasuta
(Editor). Media Hindu Jkt, 2005
12.
R.B.
Cattel :Personality and Mood by Questionare; dlm Organissi jilid 1;
Gibson dkk,Erlangga, Jkt..1989
13.
Mudiarcana, ING. “Kepribadian Hindu
dan Pembangunan Masa Depan”. Dalam , Cendekiawan Hindu Bicara. Putu
Setia (ed) Yayasan Dharma Narada hal 70-87. Denpasar 1992
Dr.ING.Mudiarcana.
Mantan Seretaris Jenderal DPP
Pemuda Hindu Indonesia 2000-2005 kini bekerja
sebagai Dokter.
Baca Juga yang ini :
ILMU
SOSIAL
ILMU
PSIKOLOGI
TENTANG
HINDU
BABAD